Akuisisi Lionel Messi menyingkapkan lagi kapitalisme sepak bola

Jakarta (ANTARA) - Laksana mereka yang getol menawarkan pinjaman lewat pesan sms atau whatsapp karena yakin semua orang terhimpit masalah dana selama pandemi, pengelola dana raksasa dunia menawarkan dana kepada berbagai industri di seluruh dunia yang terhuyung-huyung ditabrak dampak buruk pandemi terhadap arus pendapatan, termasuk industri sepak bola Eropa.

Tak ada yang salah untuk mereka yang rajin menawarkan pinjaman lewat sms atau whatsapp. Pertama, karena si penawar pinjaman sedang berusaha meniagakan jasanya meskipun terlihat manis hari ini tapi bisa pahit di kemudian hari. Kedua, dan ini yang terpenting, si penerima tawaran pinjaman memiliki kuasa untuk menolaknya.

Kalaupun ada yang mesti disalahkan, maka itu adalah mereka yang tidak bisa melindungi data konsumen dan data pribadi orang lain.

Namun tulisan ini tak membahas hal itu, melainkan yang dilakukan liga-liga sepakbola Eropa setelah akuisisi Lionel Messi oleh Paris Saint Germain (PSG) mencuatkan kembali dilema pemberi modal dan penerima modal.

Transfer Messi kepada Paris Saint Germain memang kian mencuatkan kisah lain yang sampai kini masih panas di Spanyol, yakni kontroversi kesepakatan investasi antara perusahaan ekuitas swasta raksasa CVC Capital Partners dan La Liga.

Baca juga: Kedatangan Lionel Messi di PSG semarakkan mata uang kripto
Baca juga: Real dan Barcelona bersatu tolak kesepakatan investasi baru La Liga

Kesepakatan itu didukung oleh hampir semua klub La Liga, tapi ditentang Barcelona, Real Madrid dan Athletic Bilbao yang tak seperti kebanyakan klub Spanyol, sahamnya dimiliki oleh masyarakat yang terdaftar sebagai anggotanya.

Kesepakatan senilai 2,1 miliar euro (Rp35,5 triliun) itu disetujui oleh 37 dari total 42 klub La Liga. Satu klub lainnya yang menentang adalah klub divisi dua Real Oviedo.

Menurut Presiden La Liga Javier Tebas, sebagai imbalan dari 2,1 miliar euro yang dipompakan ke dua divisi liga Spanyol, CVC memperoleh porsi 11 persen pendapatan hak siar televisi pertandingan-pertandingan La Liga selama 50 tahun ke depan.

Dana segar dari CVC itu akan dibelanjakan untuk infrastruktur sepakbola dan modernisasi proyek-proyek sepak bola, termasuk meningkatkan kemampuan klub dalam menggaji pemain.

Nah yang terakhir itu adalah frasa yang diyakinkan Tebas kepada Presiden Barcelona Joan Laporta saat menekankan Barca mengenai aturan financial fair play di liga elite Spanyol dalam kaitannya dengan kontrak Messi.

Jika Laporta menyetujui investasi CVC itu, maka Barcelona tak akan kerepotan memenuhi syarat minimal 70 persen anggaran klub untuk gaji pemain karena bakal ada dana segar mengalir ke kantong Barcelona.

Artinya, Barca bisa mengontrak kembali Messi yang bayarannya menyita porsi besar dari total belanja gaji klub Catalan itu.

Baca juga: Diancam hukum Real Madrid, presiden La Liga sindir Florentino Perez

Bundesliga tahan banting

Tetapi Barcelona, dan juga Presiden Real Madrid Florentino Ferez, tak mau menggadaikan pendapatan hak siar La Liga selama 50 tahun.

Madrid bahkan menggugat Tebas dan Ketua CVC Capital Javier de Jaime Guijarro.

Sayang, Madrid dan Barca tak punya formula mengatasi beban keuangan yang menghimpit klub-klub La Liga, selain proposal Liga Super Eropa yang justru membuat klub-klub La Liga lain sebal karena proposal itu memarjinalkan mereka.

Dalam kata lain, dalam banyak hal sama saja dengan CVC. Bedanya, CVC dianggap menguntungkan semua pihak.

Seperti analogi pemberi pesan whatsapp yang menawari utang kepada Anda, La Liga juga memiliki kesempatan menolak CVC.

Sebelum La Liga pun CVC sudah menawarkan proposal serupa kepada Bundesliga Jerman dan Serie A Italia. Kedua liga besar Eropa ini menolaknya.

Bundesliga menolak permohonan akuisisi 25 persen saham liga oleh CVC karena tak terlalu banyak mengoleksi utang seperti liga-liga Eropa lainnya sehingga merasa tak perlu menggadaikan sumber-sumber pendapatan mereka kepada pihak lain.

Baca juga: Real Madrid bakal tuntut presiden La Liga soal kesepakatan CVC
Baca juga: Peserta Ligue 1 Prancis dikurangi jadi 18 tim mulai musim 2023-2024

Serie A juga menolak karena klub-klub topnya beranggapan proposal akuisisi liga oleh CVC itu akan melemahkan kendali liga.

Tetapi situasi keuangan La Liga memang lebih berat ketimbang yang dihadapi Bundesliga, apalagi jika dibandingkan Liga Inggris.

Menurut Deloitte Annual Review of Finance, pandemi telah menggerus kemampuan keuangan klub-klub Eropa selama 2019-2020.

Total, pendapatan seluruh klub Eropa turun 3,4 miliar pound (Rp67,6 triliun) menjadi 22 miliar pound (Rp437 triliun).

Ini pertama kalinya pendapatan sepak bola Eropa ambruk demikian hebat sejak krisis keuangan global 2008-2009.

Tetapi ada beberapa liga yang agak bagus menghadapi situasi pandemi, salah satunya Bundesliga.

Liga Jerman adalah yang paling tahan banting hingga bisa menyalip La Liga sebagai liga paling menguntungkan kedua di bawah Liga Inggris.

Musim lalu itu, angka pendapatan Bundesliga hanya turun 4 persen atau 116 juta pound (Rp2,3 triliun) menjadi 2,8 miliar pound (Rp56,7 triliun). Sedangkan pendapatan La Liga anjlok 8 persen menjadi 2,7 miliar pound (Rp53,7 triliun).

Baca juga: Pakar keuangan olahraga yakin Liga Super Eropa rugikan klub-klub kecil

Kapitalisme bencana

Italia dan Prancis lebih buruk lagi, masing-masing terpangkas 18 persen menjadi 1,8 miliar pound (Rp35,8 triliun) dan 16 persen menjadi 1,4 miliar pound (Rp27,8 triliun).

Kedua liga ini berdarah-darah karena ambruknya negosiasi dengan perusahaan-perusahaan media pembeli hak siar televisi.

Terakhir, Serie A sampai menggandeng YouTube untuk siaran di Afrika dan Timur Tengah, demi laga-laga mereka ditonton oleh orang-orang di dua kawasan itu.

Tetapi Serie A menampik uluran modal dari CVC karena khawatir liga diintervensi terlalu dalam.

CVC sendiri aktif menawarkan dana kepada industri olahraga, sekalipun pasar tradisionalnya adalah industri-industri biasa termasuk industri teknologi.

Sebelum masuk ke La Liga, CVC sudah sering keluar masuk dunia olahraga.

Baca juga: Serie A Italia jajaki kerjasama siaran dengan YouTube

Mereka menawarkan modal dengan imbalan sejumlah saham tertentu untuk sektor-sektor paling menguntungkan, dan lalu menjualnya pada periode yang dianggap paling layak dijual kembali ketika valuasi entitas yang mereka akuisisi sudah naik berlipat-lipat dibandingkan ketika pertama kali mereka akuisisi.

Beberapa contoh akuisisi CVC adalah pemegang hak siar MotoGP, Dorna Sports, yang diakuisisi pada 1998 pada harga 80 juta dolar AS (Rp1,1 triliun), namun delapan tahun kemudian pada 2006 dijual seharga 473,4 juta dolar AS (Rp6,7 triliun).

Kemudian Formula 1 yang diakuisisi pada 2005 dengan dana 1,7 miliar dolar AS (Rp24,4 triliun) namun dijual lagi pada 2016 dalam harga 4,4 miliar dolar AS (Rp63,1 triliun).

CVC saat ini menguasai porsi tertentu saham sejumlah klub dan liga olahraga dunia yang dibeli antara 2018 sampai 2021.

Itu meliputi Premiership Rugby di Inggris, Pro14 Rugby, Six Nations Rugby, dan Volleyball World yang dibentuk CVC bersama Federasi Bola Voli Internasional (FIVB).

Baca juga: NBA akan umumkan 75 pemain terhebat di peringatan musim ke-75

Beberapa lainnya gagal, seperti proposal akuisisi klub basket NBA San Antonio Spurs, World Rugby, South African Rugby, dan One Tennis yang adalah rencana gabungan WTA dan ATP.

Tindakan CVC mengingatkan orang kepada apa yang disebut "kapitalisme bencana" oleh wartawati sekaligus pengarang dan aktivis Kanada Naomi Klein yang menulis buku menghebohkan “The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism” pada 2007.

Tetapi, kalau Naomi Klein merujukkan “kapitalisme bencana” itu kepada segala hal yang sudah dirancang sebelumnya sampai kemudian modal masuk, maka apa yang dilakukan CVC lebih seperti mereka yang menawarkan pinjaman lewat sms dan whatsapp itu. Kasarnya, lebih sebagai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Tak ada yang salah dengan CVC, lagi pula mereka melakukannya dalam koridor hukum, apalagi saat ini tak ada makan siang gratis. Semua berimbalan, sampai proyek amal pun bisa tetap menuntut imbalan meski bukan dalam bentuk materi.

Tapi kekritisan seperti dilakukan Bundesliga Jerman memang keniscayaan, terutama guna mencegah pemberi modal tak memasang jerat yang terlalu memberatkan dan tidak meminta konsensi yang terlalu mencekik di kemudian hari.

Baca juga: Amazon kuasai hak siar Liga Champions di Italia
Baca juga: Bundesliga segera finalisasi hak siar lokal dengan harga lebih murah
Baca juga: Pemegang hak siar programkan "hari Liga 1" tiap akhir pekan

Oleh Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2021

Belum ada Komentar untuk "Akuisisi Lionel Messi menyingkapkan lagi kapitalisme sepak bola"

Posting Komentar